Rabu, 02 Maret 2016

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG yang awalnya UU NO 7 TAHUN 1992 MENJADI UU NO 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN


PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 1992 MENJADI UNDANG-UNDANG NO 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN
                                                                     BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
1.    Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
2. Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
3. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya  yang dipersamakan dengan itu;
4. Bank Campuran adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri;
5. Kantor Cabang adalah setiap kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan tempat usaha yang permanen dimana kantor cabang tersebut melakukan kegiatannya;
6. Simpanan adalah dana yang dipercayakart oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
7. Giro adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan;
8. Deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan;
9. Srtifikat Deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan;
10. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu;
11. Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;
12. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan;
13. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan kontrak antara Bank Umum dengan penitip yang didalamnya ditentukan bahwa Bank Umum yang bersangkutan  melakukan  penyimpanan  harta  tanpa  mempunyai  hak kepemilikan atas harta tersebut;
14. Wali Amanat adalah Bank Umum, yang berdasarkan suatu perjanjian antara Bank Umum tersebut dengan emiten surat berharga, ditunjuk untuk mewakili kepentingan semua pemegang surat berharga tersebut;
15. Pihak Terafiliasi adalah :
a. anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi, pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, badan pemeriksa, direksi, pejabat, atau karyawan bank, khusus        bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank yang bersangkutan, termasuk konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, penilai;
d. pihak yang berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank;
16. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan;
17. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
18. Dewan Moneter adalah dewan moneter sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang yang berlaku;
19. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia;
20. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 angka 1 di ubah sehingga menjadi berbunyi :
1.  Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
2.  Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
3.  Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
4.  Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
5.  Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
6.  Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan;
7.  Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank;
8.  Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan;
9.  Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut Syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu;
10.  Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;
11.  Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;
12.  Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tabungan setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
13.  Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakahl, prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
14.  Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;
15.  Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dengan emiten aural berharga yang bersangkutan;
16.  Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank;
17.  Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
18.  Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
19.  Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana kantor cabang tersebut. melakukan usahanya;
20.  Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
21.  Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang undang yang berlaku;
22.  Pihak Terafiliasi adalah:
a.  anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
b.  anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.  Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
d.  pihak yang menurut perdamaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi. keluarga Pengurus.
23.  Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
24.  Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya;
25.  Merger adalah penggabungan dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan oleh tanpa melikuidasi;
26.  Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut. dengan atau tanpa melikuidasi;
27.  Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank;
28.  Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.”
Pada pasal 2 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Pada pasal 3 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 3
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Pada pasal 4 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 4
Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.


Pada pasal 5 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
BAB III
JENIS DAN USAHA BANK
Bagian Pertama
Jenis Bank
Pasal 5
(1) Menurut jenisnya, bank terdiri dari :
a. Bank Umum;
b. Bank Perkreditan Rakyat.
(2) Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.
Bagian Kedua
Usaha Bank Umum
Pasal 6 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c.  menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3. kertas perbendaharaaa negara dan surat jaminan pemerintah;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5. obligasi;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f.  menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i.  melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
j.  membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
k. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
l.  menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 6 huruf k dihapus, sehingga menjadi berbunyi :
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c.  menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3. kertas perbendaharaaa negara dan surat jaminan pemerintah;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5. obligasi;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f.  menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i.  melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
j.  membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l.  menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
Pasal 7 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank
Umum dapat pula :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c.  melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagala kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 7 huruf c diubah, sehingga Pasal 7 huruf c menjadi berbunyi :
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank
Umum dapat pula :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c.    melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali Penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan”
d.   bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
Pasal 8 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 8
Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
(1)  Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2)  Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pada pasal 9 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 9
(1) Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi kewajiban lain sesuai dengan kontrak.
(2) Harta yang dititjpkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri.
(3) Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.
Pada pasal 10 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 10
Bank Umum dilarang :
a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
b  melakukan usaha perasuransian;
c.  melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 11 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari
modal disetor bank;
b. anggota dewan komisaris;
c. anggota direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c;
e. dan pejabat bank lainnya;
f.  serta perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta menambah ayat baru di antara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat (1)i, ayat (3), dan ayat (4A) menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 11
(1)  Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa. yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(3A) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a.  Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b.  Anggota Dewan Komisaris;
c.  Anggota Direksi;
d.  Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e.  Pejabat bank lainnya; dan
f.  Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak- pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).”
Pasal 12 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 12
Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, berdasarkan ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1)  Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Bank Umum.
(2)  Ketentuan mengenai kerja sama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 12 dan Pasal 13 yang dijadikan Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1)  Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
(2)  Ketentuan mengenai tatacara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”



Pasal 13 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Bagian Ketiga
Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; 8  Divisi Kepatuhan & Dukungan Hukum| UU No. 7 Tahun 1992
b. memberikan kredit;
c.  menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 13c diubah, sehingga Pasal 13c menjadi berbunyi sebagai berikut:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; 8  Divisi Kepatuhan & Dukungan Hukum| UU No. 7 Tahun 1992
b. memberikan kredit;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
d.   menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Pada pasal 14 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 14
Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c.  melakukan penyertaan modal;
d. melakukan usaha perasuransian; melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pada pasal 15 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 16 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM DAN KEPEMILIKAN
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 16
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(2) Izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diberikan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dipenuhi persyaratan tentang :
a.  susunan organisasi; permodalan;
b. kepemilikan;
c.  keahlian di bidang perbankan;
d. kelayakan rencana kerja;
e.  dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
 (4) Untuk mendapatkan izin usaha Bank Perkreditan Rakyat, di samping memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib dipenuhi pula persyaratan tentang tempat kedudukan kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat di kecamatan.
(5) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dengan memenuhi ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, Bank Perkreditan Rakyat dapat didirikan di ibukota kabupaten atau kotamadya, sepanjang di ibukota kabupaten atau kotamadya dimaksud belum terdapat Bank Perkreditan Rakyat.
(6) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan tata cara perizinannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1)  Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(2)  Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan sekurang- kurangnya tentang:
a.  susunan organisasi dan kepengurusan;
b.  permodalan;
c.  kepemilikan;
d.  keahlian di bidang Perbankan;
e.  Kelayakan rencana kerja.
(3)  Persyaratan dan tatacara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pasal 17 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 17
Untuk mendapatkan izin usaha sebagai Bank Umum yang berbentuk bank campuran, wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan ayat (6), serta ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yang mengatur :
a. jumlah kepemilikan dan kepengurusan pihak asing yang diizinkan;
b. pihak-pihak yang diizinkan bekerja sama;
c.  hal-hal lain yang menurut Dewan Moneter perlu diatur untuk kepentingan pembangunan nasional.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 17 dihapus.
Pasal 18 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 18
(1) Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang dan perwakilan Bank Umum di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(4) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1)  Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2)  Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(3)  Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih
dahulu kepada Bank Indonesia.
 (4)  Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pasal 19 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 19
(1) Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat di ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang di luar ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, serta pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
 (3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga Pasal 19 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 19
(1)  Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2)  Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pasal 20 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 20
(1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 20 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
(1)     Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.”
(2)     Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Bagian Kedua
Bentuk Hukum
Pasal 21
(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa salah satu dari:
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Perusahaan Daerah;
c.  Koperasi;
d. Perseroan Terbatas.
(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c.  Perseroan Terbatas:
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 21 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 21 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1)  Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
a.  Perseroan Terbatas;
b.  Koperasi; atau
c.  Perusahaan Daerah.”
(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c.  Perseroan Terbatas:
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Pasal 22 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Bagian Ketiga
Kepemilikan
Pasal 22
Bank Umum hanya dapat didirikan oleh :
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Bank yang pendirinya sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bank yang berkedudukan di luar negeri.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1)  Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:
a.  Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau
b.  Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2)  Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat 11/ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pada pasal 23 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 23
Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.
Pada pasal 24 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 24
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
Pada pasal 25 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 25
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.

Pasal 26 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 26
(1) Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek di Indonesia.
(2) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum yang dijual berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum melalui bursa efek, dengan ketentuan tidak menjadi mayoritas.
(4) Khusus bagi Bank Umum milik negara, emisi saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan tanpa mengakibatkan perubahan atas mayoritas kepemilikan saham oleh negara.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1)  Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
(2)  Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.
(3)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 27 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib :
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6), Pasal 17, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26;
b. dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib:
a.  memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26; dan
b.  dilaporkan kepada Bank Indonesia."
Pasal 28 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 28
(1) Merger dan konsolidasi antar bank, serta akuisisi bank wajib terlebih dahulu mendapat izin Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 28 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 28 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1)     Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia.”
(2)     Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 29
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.
(3) Bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(4) Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(5) Untuk  kepentingan  nasabah,  bank  menyediakan  informasi  mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
(1)  Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2)  Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3)  Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(4)  Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
(5)  Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pada pasal 30 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 30
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
(3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 27 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 31
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
(2) Dalam hal diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan makro dewan moneter dapat meminta Bank Indonesia untuk:
a. menyampaikan laporan mengenai hasil pemeriksaan bank yang diperlukan;
b. melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank, dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga Pasal 31 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank,baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.”
Pasal 32 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 32
Jika dianggap perlu, Menteri dapat pula meminta Bank Indonesia untuk menyampaikan laporan mengenai hasil pemeriksaan bank atau meminta Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 32 dihapus.
Pasal 33 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 33
(1) Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bersifat rahasia.
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga Pasal 33 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
 (1)  Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A bersifat rahasia.
(2)  Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pada pasal 34 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 34
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
(3) Tahun buku bank adalah tahun takwim.
Pada pasal 35 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 35
Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pada pasal 36 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 36
Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 37 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 37
(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Menteri.
(2) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat :
a. melakukan tindakan agar :
1. pemegang saham menambah modal;
2. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank;
3. bank menghapus-bukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
4. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
b. mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia :
a. keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan; atau
b. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; Bank Indonesia mengusulkan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank tersebut.
(4) Berdasarkan usul Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Menteri mencabut izin usaha bank yang bersangkutan dan memerintahkan direksi untuk melikuidasi bank tersebut.
(5) Dalam hal direksi tidak melikuidasi bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk melikuidasi bank yang bersangkutan.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga Pasal 37 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1)  Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
a.  pemegang saham menambah modal;
b.  pemegang saham mengganti .Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c.  bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d.  bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e.  bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f.  bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
g.  bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepadabank atau pihak lain.
(2)  Apabila:
a.  tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau
b.  menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
(3)  Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.”
Menambah 2 (dua ketentuan baru di antara Pasal 37 dan Pasal 38 yang diajukan Pasal 37A dan Pasal 378, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 37A
(1)  Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
(2)  Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud.
(3)  Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta memenang lain yaitu:
a.  mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;
b.  Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;
c.  menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;
d.  meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;
e.  menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;
f.  mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain;
g.  melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
h.  melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;
i.  melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
j.  melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;
k.  menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yangbersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;
l.  menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;
m.  melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
(4)  Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan Undang-undang ini. (5)  Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.
(6)  Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
(7)  Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.
(8)  Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut.
(9)  Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37B
 (1)  Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
(2)  Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
(3)  Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.
(4)  Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pada pasal 38 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI DAN
TENAGA ASING
Pasal 38
(1) Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 17.
(2) Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pada pasal 39 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 39
(1) Dalam menjalankan kegiatannya, bank dapat menggunakan tenaga asing.
(2) Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
BAB VII
RAHASIA BANK
Pasal 40
(1)   Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 40 diubah, sehingga Pasal 40 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1)  Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 , Pasal 41A. Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.”
Pasal 41UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 41
(1) Untuk kepentingan perpajakan Menteri berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti- bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 41 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1)     Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.”
(2)     Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 27 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Menteri dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis alas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam, ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 menambah ketentuan baru di antara Pasal 41 dan Pasal 42 yang dijadikan Pasal 41A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
(1)  Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
(2)  Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
(3)  Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan."
Pasal 42 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Menteri dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis alas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam, ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1)  Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
(2)  Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
 (3)  Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.”
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 42 dan Pasal 43 dalam UU No 10 Tahun 1998 yang dijadikan Pasal 42A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42.
Pasal 43 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 43
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 44
(1) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 45 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 45
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 44 dan Pasal 45 (2) dalam UU No 10 Tahun 1998 yang dijadikan Pasal 44A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44A
(1)  Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpanan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
(2)  Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut.”
Pasal 46 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 46
(1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan--badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Dalam UU No 10 Tahun 1998  ketentuan Pasal 46 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 46 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
(1)     Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
(2)     Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan--badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Pasal 48 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 47
(1)   Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis dari Menteri kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 atau tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah).
(2)    Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 47 diubah, sehingga Pasal 47 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1)  Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2)  Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)."
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 47 dan Pasal 48 yang dijadikan Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)."
Pasal 48 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 48
(1) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun clan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,¬(dua milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) clan ayat (2) clan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miiyar rupiah).
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 48 diubah, sehingga Pasal 48 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1)  Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2)  Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Pasal 49 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 49
(1) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan  atau  tidak  memasukkan  atau  menyebabkan  tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen awu laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c.  mengubah,  mengaburkan,  menyembunyikan,  menghapus,  atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalarn pembukuan: atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catata pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga,  untuk  keuntungan  pribadinya  atau  untuk  keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga Pasal 49 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
(1)  Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a.  membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b.  menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c.  mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2)  Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a.  meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarannya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi Batas kreditnya pada bank;
b.  tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
Pasal 50 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 50
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang- undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 50 diubah, sehingga Pasal 50 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000. 000.00 (seratus miliar rupiah).”
Pasal 51 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 51
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, dan Pasal 50 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran.
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 50 dan Pasal 51 yang dijadikan Pasal 50A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50A
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 51 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 51 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1)     Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A. Pasal 48 ayat (1). Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A adalah kejahatan.”
Pasal 52 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 52
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 52 diubah, sehingga Pasal 52 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
(1)  Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49. dan Pasal 50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah:
a.  denda uang;
b.  teguran tertulis,
c.  penurunan tingkat kesehatan bank;
d.  larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e.  pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f.  pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
g.  pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
(3)  Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Pada pasal 53 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :

Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
Pada pasal 54 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) Dengan berlakunyi Undang-undang ini :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1996);
b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2490); 19  Divisi Kepatuhan & Dukungan Hukum| UU No. 7 Tahun 1992
c.  Undang-undang Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nornor 2870);
d. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2871);
e. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2872);
f.  Undang-undang Nomor 20 Tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2873);
g. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2874);
h. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2874); dinyatakan tetap berlaku untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank yang didirikan berdasarkan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini lebih awal dari jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi tidak berlaku lagi.
Pasal 55 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 55
(1) Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang- undang ini.
(2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3) Bank Perkreditan Rakyat yang telah mempunyai izin usaha pada saat Undang- undang ini mulai berlaku, dan berkedudukan di ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten, dan kotamadya, tetap dapat melanjutkan usahanya sebagai Bank Perkreditan Rakyat hingga dapat ditingkatkan menjadi Bank Umum.
Dalam UU No 10 Tahun 1998 ketentuan Pasal 55 diubah, sehingga Pasal 55 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55
Bank yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-undang ini.”
Pada pasal 56 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 56
Ketentuan batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4), wajib dipenuhi o1ch bank selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
Pada pasal 57 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 57
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank berdasarkan ketentuan dalam Undang-undana ini, selambat- lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
Pada pasal 58 di dalam UU No 7 tahun 1992 dan di dalam UU No 10 Tahun 1998 isinya sama yaitu berbunyi :
Pasal 58
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari(LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 59 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
Pasal 59
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui.
Pasal 60 UU No 7 Tahun 1992 berbunyi :
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
a. Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14 September 1929 tentang Aturan- aturan mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam propinsi-propinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja-kotapraja;
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2489);
c.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842),
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menambah ketentuan baru di antara Pasal 59 dan Pasal 60 yang dijadikan Pasal 59A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59A
Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan Perbankan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.”
Pasal II
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Peraturan tentang Usaha Perkreditan Yang Diselenggarakan Oleh Kelurahan Di Daerah Kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad Dari Daerah Paku Alaman Tahun 1937 Nomor 9), dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


















































                                                                                      













































1 komentar:

  1. Coin Casino UK Review - Get Exclusive Bonus C$200!
    Visit Casino UK today and get a 100% up to C$200 bonus + 코인카지노 먹튀 놀검소 free spins. Claim the welcome bonus and get a $200 bonus plus 100% up to C$20!

    BalasHapus